Tumpah
“Bunda aku pulang!”
Suara hangat menyambut suara Yuki, Jadi begini rasanya memiliki seseorang yang menunggu di rumah. Aneh Eita merasakan dadanya tiba-tiba sesak.. ia ingin menangis.
“Nak, temen baru kamu yaa?? Bunda bau liat. Maniss yaa” Perempuan paruh baya itu mengusap rambut eita sambil tersenyum. “Siapa nih namanyaa?”
“Eita tante. Salam kenal ya..”Hatinya menghangat. Ia rindu sosok ibunya yang entah kemana, ia rindu keluarganya yang telah pergi meninggalkannya.
Tahan, eita jangan nangis.
“Panggil bunda aja eitaa.. biar sama kayak temen Kenyu yang lain.” Ucapnya, kini menggenggam tangan eita,”Eita? Kok diemm??”
Yuki terkekeh,”Anaknya emang gitu bun.. suka canggungan.”
“Oalah.. ngga usah canggung ya sayang ayo makan pasti capek habis sekolah.” Eita yang bergeming dituntun menuju ruang makan. “Ken kamu ke kamar dulu aja gih ganti baju.”
“Siap bunda.”
Suasana dapur hening. Bunda menyiapkan makanan dan Eita hanya diam di meja makan sambil menunduk. Ia merasa takkan mampu menahan tangis jika satu kali lagi mendapat perlakuan lembut ibu temannya ini.
“Eita mau puding ngga sayang?” Tawar yang lebih tua.
“N-nggak usah b-bunda..” Eita sadar suaranya bergetar. Namun ia tidak sanggup lagi menahannya.
Yang lebih tua mendekati teman baru anaknya itu. Insting ibunya memancar seolah ingin menyayangi lelaki bersurai dwi warna yang baru saja dibawa anaknya ke rumah. Ia sadar pasti ada yang salah dari Eita.
“Eita..lagi sedih ya sayang?” Tanyanya lembut sambil mengusap surai yang lebih muda. “Kamu ada masalah ya?”
Eita langsung terisak,”B-bunda..Boleh eita peluk?”Tanyanya di sela isakan matanya yang penuh air mata mendongak memandang wanita yang lebih tua.
Yang lebih tua mengangguk sambil tersenyu merentangkan tangannya. “Boleh sayang. Sini peluk”
Usapan lembut dapat eita rasakan di pumggungnya membuatnya semakin menangis. Ia suka.. ia suka perasaan hangat uang menyabar di dadanya. Ia rindu kasih sayang seorang ibu. Ia sangat merindukan sosok wanita yang melahirkannya. Dan yang terpenting..
Eita masih berharap mamanya masih mengingatnya dan ingin kembali.
Isakannya berubah menjadi tangisan,”E-eita rindu mama bunda.” Adunya membuat perempuan paruh baya itu terenyuh.
“Eita bisa anggep bunda mamanya eita..”
Eita menggeleng,”Bunda baik.. mama ngga.. eita dipukul sakit tapi eita sayang dan sekarang eita rindu..” ceirtanya masih dengan tangisan, suara terbata namun masih jelas di telinga bunda.
Yuki yang baru ingin bergabung terdiam melihat teman barunya menangis, ia sudah menduga ada luka mendalam dari laki-laki yang baru di kenalnya. Awal perkenalan yuki sudah bertekad untuk menjaga lelaki itu.. lelaki yang sudah ia anggap sebagai adiknya sejak jumoa pertama mereka.
Yuki dengan perlahan mendekat, mengusap punggung eita yang bergetar hebat. “Eita kuat..”
“Nak.. Eita kuat ya.. Puas-puasin nangisnya sayang.. Eita berhak nangis setelah apa yang eita alami. Bunda sama ken bantu sembuhin ya.. kita pelan-pelan.”
Tangis eita semakin bergema di ruang makan. Membuat susana pilu yang pekat namun bairlah.. Laki-laki itu sudah terlalu lama memendam. Sudah waktunya Eita melepas beban dan berusaha mengikhlaskan..